Minggu, 03 Maret 2013

Kerusakan Pada Penanganan Bahan


Contoh Dari Kerusakan – Kerusakan Dalam Bahan Pangan

1.      Kerusakan Biologis
Biol_012p
Kerusakan biologis bisa disebabkan karena adanya gangguan dari binatang pengerat maupun serangga. Contohnya adalah Buah-buahan yang dirusakkan / dimakan sebagian sehingga memberikan bekas dalam buah tersebut.



2.      Kerusakan Mikrobiologis
iStock_000005058922XSmall_crop380w.jpgKerusakan ini terjadi disebabkan karena berkembangnya mikroba dalam bahan sehingga merusak bahan pangan tersebut. Contoh dari kerusakan mikrobiologis ialah daging yang mengeluarkan lendirnya, telur yang mengalami kebusukan, serta roti yang menjamur, serta buah-buahan dan sayuran membusuk.

3.      Kerusakan Fisiologis
Kerusakan ini terjadi disebabkan oleh aktivitas fisologis (reaksi biokimiawi) yang terjadi dalam bahan pangan. Contohnya ialah perubahan metabolit ataupun pertumbuhan dan perkembangan bahan itu sendiri, dan daging yang membusuk oleh proses autolisis, karena daging tersebut tidak tahan dengan suhu kamar.





4.      Kerusakan Fisik
Biol_006pKerusakan ini terjadi karena adanya perlakuan perlakuan fisik sehingga bahan pangan menjadi rusak. Contohnya ialah bahan pangan yang mengalami proses pendinginan ataupun pemanasan menyebabkan bagian dari bahan tersebut menjadi keras, dan lain sebagainya.


5.      Kerusakan Mekanis
Kerusakan ini terjadi bisa karena kecerobohan dalam proses pemanenan maupun serangan dari hama penyakit tanaman. Contohnya ialah Penggumpalan dari hasil karet yaitu lateks, maupun memar pada buah-buahan akibat benturan.

6.      Kerusakan Kimiawi
Kerusakan ini terjadi karena adanya reaksi kimia dalam suatu bahan sehingga bahan tersebut menjadi rusak. Contoh dari kerusakan kimiawi ini ialah adanya oksidasi lemak dalam minyak, sehingga minyak berubah warna dan berbau tengik. Adapun juga bisa terjadi penyimpangan rasa, aroma maupun warna dalam bahan teh, kopi,dll.

Pindah Panas Dan Counter & Paralel Flow

TUGAS
SATUAN OPERASI
PINDAH PANAS





Enggang%20Hitam
 











DISUSUN OLEH
ILHAM ANANTO
E1F111007








PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2013
Perpindahan Panas Pada Exhausting Pengalengan Nanas
            Exhausting ialah salah satu proses dalam pengalengan nanas untuk menghilangkan udara sehingga tekanan di dalam kaleng setelah perlakuan panas dan pendinginan  lebih rendah daripada tekanan atmosfer.
            Proses pindah panas pada exhausting pengalengan nanas ini adalah konduksi juga konveksi. Bagian konduksi dari exhausting pengalengan nanas ini ialah yang terjadi pada kaleng. Dalam proses ini kaleng harus dipanaskan menggunakan steam pada suhu 80 – 90oC dengan waktu 5-7 menit. Proses ini terjadi dari panas steam ke kaleng dengan proses konduksi. Konduksi juga terjadi dari kaleng ke dalam nanas dalam wadah tersebut. Proses konveksi dari exhausting pengalengan nanas ini terjadi saat suhu dari nanas tersebut telah naik dan air-air yang terkandung pada nanas tersebut mengalami proses pindah panas konveksi.

Perpindahan Panas Pada Evaporasi Gula Kristal
            Evaporasi ialah salah satu proses dalam pembuatan gula kristal yang bertujuan untuk mengentalkan jus menjadi sirup dengan cara menguapkan air menggunakan uap panas (steam).
            Proses pindah panas yang terjadi pada evaporasi gula kristal ialah konveksi. Proses pindah panas tersebut terjadi karena panas yang pindah terdapat dalam bentuk cairan. Partikel-partikel panas tersebut pindah dari bentuk jus menjadi bentuk yang lebih kental seperti sirup.

Heat Exchanger Counter Flow dan Paralel Flow
            Heat exchanger ialah suatu cara untuk melaksanakan perpindahan kalor  dengan efisien dari satu medium ke medium yang lainnya. Media dipisahkan hanya dengan suatu dinding padat, sehingga media tersebut tidak akan bercampur dan berkontak langsung.
            Heat exchanger counter flow ialah kedua fluida ( panas dan dingin ) yang masuk dalam penukar panas dengan arah berlawanan, mengalir dengan arah berlawanan dan keluar pada sisi yang berlawanan . Temperatur fluida dingin yang keluar dari penukar panas (Tcb ) lebih tinggi dibandingkan temperatur fluida panas yang keluar dari penukar panas ( Thb ), sehingga dianggap lebih baik dari alat penukar panas aliran searah (Co- Current).
            Pertukaran panas jenis parallel flow ini ialah kedua fluida ( dingin dan panas ) masuk pada sisi penukar panas yang sama, mengalir dengan arah yang sama, dan keluar pada sisi yang sama pula. Karakter penukar panas jenis ini adalah temperatur fluida dingin yang keluar dari alat penukar panas ( Tcb ) tidak dapat melebihi temperatur fluida panas yang keluar dari alat penukar panas (Thb), sehingga diperlukan media pendingin atau media pemanas yang banyak.
                                                                                    

Bagaimana Menjadi Pelaku Professional

BAB I
PENDAHULUAN

I.       LATAR BELAKANG
Sebelum jauh membahas mengenai menjadi seorang profesional baiknya mengenal terlebih dahulu apa itu profesional. Kata profesional adalah kata sifat berasal dari kata “profesi”. Profesional berarti totalitas pada suatu pekerjaan agar mendapatkan output yang terbaik. Ada tiga hal terkait di sini, yaitu kepuasan dari pengguna jasa atau barang yang dihasilkan, keahlian orang yang mengerjakan, dan imbalan dari pekerjaan tersebut.
Profesional diartikan sebagai ciri-ciri kekuatan yang dimiliki oleh seseorang berupa kemampuan terhadap suatu bidang keahlian (kompetensi), kesiapan melakukan kompetisi, kemampuan melakukan efisiensi waktu dan kerja, keterampilan, pandai membaca situasi dan keadaan, berpengalaman, memiliki sifat dan hasil kerja yang mengagumkan.
Ukuran profesionalitas seseorang bisa dilihat dari dua sisi  yaitu teknis keterampilan atau keahlian yang dimilikinya, serta hal-hal yang berhubungan dengan sifat, watak, dan kepribadiannya. Untuk menjadi seorang yang professional tidak cukup hanya dengan pendidikan formal, diperlukan lebih dari sekedar gelar akademik. Pengembangan diri lah yang paling berpengaruh untuk membangun sifat professional dalam diri sendiri.
Di era globalisasi sekarang ini profesionalisme merupakan salah satu syarat penting bagi segala jenis pekerjaan. Setiap orang, apapun pekerjaannya, haruslah mampu memposisikan diri sebagai profesional-profesional tangguh yang siap menghadapi segala situasi yang mungkin terjadi sebagai akibat persaingan global yang sangat tajam dan terbuka.
Ada cukup banyak definisi yang pernah dikemukakan para pakar tentang profesionalisme. Definisi-definisi itu tentu dirumuskan dengan penekanan-penekanan tertentu sesuai dengan tujuan dan sudut pandang pakar yang mengajukannya. Karenanya, tidak jarang orang awam justru dibuat bingung dengan banyaknya definisi tersebut (Cf. Richard de George, 1986: 337).
Jack Halloran (1978) membedakan pekerjaan (occupation) dan profesi (profession) berdasarkan status sosial jenis-jenis pekerjaan. Menurutnya, usaha-usaha untuk memprofesionalkan pekerjaan adalah usaha untuk mendapat pengakuan sosial yang lebih tinggi dari pekerjaan tersebut. Kadang-kadang sifat dari suatu pekerjaan menuntut pengakuan sosial yang lebih tinggi, kadang-kadang tidak.
Berdasarkan sejarah pemakaiannya, istilah profesi biasa digunakan untuk mengacu pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan atau keahlian khusus, yang dilakukan sebagai pekerjaan utama, dalam artian bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut bukan sekadar hobi atau pekerjaan sampingan. Profesi dengan demikian bukanlah pekerjaan itu ansich, tetapi juga berkaitan dengan orang yang menjalaninya.
Apabila dilacak dari akar sejarahnya, walaupun istilah profesi baru muncul dan semakin intens penggunaannya pada era modern, sejak zaman Yunani klasik orang sudah mempraktikkan substansinya. Pada waktu itu orang telah mengadakan pembedaan antara pekerjaan yang sifatnya honorable dan pekerjaan yang useful. Pekerjaan yang honorable banyak dilakukan oleh kalangan aristokrat yang umumnya lebih banyak waktu luangnya dibandingkan masyarakat biasa. Pekerjaan jenis ini tidaklah menuntut imbalan materi, sebab yang diperlukan dari kalangan ini adalah rasa hormat yang diperoleh dari kemampuan olah pikirnya. Dari kalangan inilah yang kemudian muncul pekerjaan seperti filsafat, arithmatika, astronomi, dan lain-lain.
Dewasa ini pekerjaan-pekerjaan yang dapat disebut sebagai profesi tidak lagi terbatas yang teknis dan praktis, tetapi juga pekerjaan- pekerjaan lain yang abstrak-teoretis. Karenanya tidaklah mengherankan apabila orang menyebut pekerjaan-pekerjaan seperti guru, pengacara, wartawan, dsb., sebagai profesi.

II.    MAKSUD DAN TUJUAN
Tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan informasi mengenai profesionalisme dan cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Makalah ini juga merupakan penilaian bentuk tugas dari mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia.


BAB II
ISI

I.    ISI DAN PEMBAHASAN
Tuntutan profesionalisme di lingkungan kerja sebenarnya sangat masuk akal dan dapat dipahami siapapun yang memiliki motivasi berprestasi secara maksimal. Setidaknya ada dua alasan terkait yang bisa dikemukakan di sini. Pertama, haruslah diakui bahwa tantangan yang paling besar untuk berprestasi dewasa ini adalah arah arus yang lebih kuat dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang daripada sebaliknya. Masuknya perusahaan-perusahaan multinasional seperti KFC, IBM, Sony, dan lain-lain, merupakan bukti nyata dari kondisi tersebut. Belum lagi serbuan gelombang informasi dan telekomunikasi dari negara-negara maju yang dari waktu ke waktu semakin gencar mempengaruhi sikap dan pandangan hidup masyarakat dunia ketiga. Konsekuensi dari kondisi ini adalah munculnya pelbagai tata nilai, standar, atau bahkan tuntutan (seperti pemberlakuan ISO 9000, ISO 14000) yang secara tak terelakkan harus dipenuhi, terutama oleh masyarakat dunia ketiga.

Mewujudkan & Mengembangkan Profesionalisme
Usaha untuk mewujudkan etos profesionalisme dapat dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Meskipun masalah struktur dan kultur tidak perlu dipertentangkan secara tajam, untuk mempermudah pembahasan sangat diperlukan perbedaan di antara keduanya. Dalam pendekatan struktural, biasanya yang perlu mendapat pembenahan adalah mekanisme kerja di dalam organisasi yang menghambat pelaksanaan kerja secara profesional. Sedangkan dalam pendekatan kultural, yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan kualitas SDM. Pendekatan kultural ini memakan waktu lebih lama dan biayanya lebih besar. Namun dampak negatif dari perubahan yang terjadi tidaklah sebesar pendekatan struktural.

Pendekatan Struktural
Menurut Benveniste, menumbuhkan profesionalisme dalam organisasi sama artinya dengan mereduksi birokrasi. Dengan birokrasi dimaksudkan struktur dan fungsi organisasi di mana aturan-aturan, regulasi-regulasi dan rutinitas digunakan secara ekstensif. Birokrasi biasanya lebih menekankan mekanisme kerja yang didasarkan pada sistem hirarkhis dan aturan yang kaku. Para birokrat yang menduduki jabatan tertentu dalam organisasi dituntut untuk patuh pada top manajemen yang memiliki otoritas lebih tinggi.
Di era globalisasi ini organisasi yang masih mempertahankan pendekatan birokrasi akan menghadapi tantangan besar, karena banyak aspek dari globalisasi justru bertolak belakang dengan sifat birokrasi. Selain itu pelbagai perubahan yang berlangsung dengan cepat sangat membutuhkan respon dan penanganan yang cepat pula. Kondisi semacam ini akan sulit sekali ditempuh dengan pendekatan birokrasi yang lebih banyak membebankan kebijakan dan keputusan pada top pucuk pimpinan setelah melalui proses panjang pertimbangan sub-sub unit atau departemen dalam organisasi.
Secara struktural, upaya yang bisa dilakukan untuk lebih memprofesionalkan kinerja organisasi dapat ditempuh melalui dua cara. Yang pertama adalah dengan profesionalisasi organisasi, dan yang kedua adalah dengan restrukturisasi organisasi. Cara pertama adalah dengan menghadirkan para profesional untuk menempati pos-pos strategis dalam struktur yang ada. Cara ini tentu bukannya tanpa masalah, sebab selain para profesional ini harus menyesuaikan diri dengan budaya organisasi (corporate culture) yang sudah terbentuk dalam organisasi, para birokrat senior yang telah lama bekerja di organisasi yang bersangkutan belum tentu cocok dengan gagasan-gagasan ataupun kinerja para profesional tersebut (Cf. Rosabeth Kanter et al, 1992:42).
Cara kedua adalah dengan pembenahan struktur yang ada, dalam artian bahwa organisasi perlu melakukan perampingan struktur dengan menghilangkan atau menggabungkan unit-unit yang dinilai kurang produktif ataupun memperlambat mekanisme kerja. Usaha demikian meskipun sangat praktis, tetapi akan menimbulkan gejolak dan keresahan di kalangan pejabat atau karyawan yang merasa kehilangan unitnya. Namun sejauh penyelenggaraan restrukturisasi dilakukan secara fair dan transparan, gejolak internal yang mungkin terjadi masih bisa diantisipasi.

Pendekatan Kultural
Dalam mengupayakan suatu perubahan, pendekatan kultural biasanya lebih dimengerti sebagai terminologi untuk merekomendasi pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang telah ada. Orang juga biasa menyebutnya sebagai pendekatan mental, psikologis ataupun pendidikan. Pada pendekatan ini yang ditekankan adalah peningkatan kualitas SDM melalui penyelenggaraan, studi banding, seminar, kursus atau pelatihan-pelatihan, atau bahkan studi lanjut. Dalam wacana manajemen modern kegiatan ini biasa disebut juga sebagai Organizational Development (OD), yang umumnya diselenggarakan dengan mengundang konsultan dari luar. Melalui bekal tambahan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari kegiatan tersebut, para karyawan akan tertantang untuk semakin meningkatkan kinerjanya.
Sebagaimana dikemukakan Alexander Winn (1968) bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagaimana disebut di atas pada dasarnya merupakan strategi reedukasi dan normatif yang ditujukan untuk mempengaruhi sistem kepercayaan, nilai, dan sikap dalam organisasi sehingga organisasi dapat beradaptasi lebih baik terhadap akselerasi laju perubahan teknologi, baik di lingkungan internal maupun eksternal.
Di negara maju seperti USA, meskipun profesionalisme sudah berakar cukup kuat dan bahkan sudah menjadi pola kerja warga masyarakat, upaya meningkatkannya masih terus berlanjut. Satu contoh menarik adalah yang dilakukan The American Society for Personnel Administration (ASPA) yang memberikan akreditasi sebagai upaya pemberian pengakuan sekaligus pengembangan profesi Human Resources Management (HRM). Dalam pemberian sertifikat akreditasi itu ASPA menetapkan standar-standar dan kualifikasi serta pengadaan ujian-ujian yang akan memberikan jaminan kompetensi bagi mereka yang memperolehnya.
ASPA membagi sertifikasi profesionalisme ke dalam dua level. Level pertama adalah Senior Profesional in Human Resources (SPHR). Level ini mensyaratkan pengalaman yang meliputi tanggungjawab-tanggungjawab kebijakan dan pengembangan. Untuk mendapat sertifikat ini para profesional harus menempuh ujian-ujian yang meliputi area:
·         Employment, placement, & personnel planning.
·         Training & Development.
·         Compensation & benefits.
·         Health, safety, & security.
·         Employee & labor relations.
·         Personnel Research.
Sedangkan untuk level kedua, yakni Profesional in Human Resources (PHR) prasyarat yang perlu dipenuhi adalah dengan menempuh ujian-ujian yang menyangkut pemahaman dasar dari human resources management.
Apa yang telah diupayakan ASPA selama lebih dari dua dekade itu merupakan langkah maju yang sangat membantu suatu organisasi dalam mengukur sekaligus mengembangkan profesionalisme karyawannya. Namun harus dicatat pula bahwa pencapaian sertifikat semacam itu bukan satu-satunya tujuan yang ingin dicapai para profesional di negara tersebut. Penerimaan sertifikat profesionalisme hanyalah salah satu tahapan dalam kerier yang menyangkut pengakuan dan upaya pengembangan diri. Bagi mereka yang lebih dipentingkan lagi adalah bagaimana mempertanggungjawabkan pengakuan tersebut dalam menjalankan tugas-tugas yang dihadapi.

Mengembangkan Profesionalisme Diri
Meskipun setiap organisasi berkepentingan untuk mengembangkan profesionalisme di lingkungannya, terutama untuk lebih mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat luas, menjalankan pekerjaan secara profesional sebenarnya merupakan tanggungjawab setiap individu di dalam organisasi tersebut. Begitu seorang diterima sebagai pegawai secara otomatis dia harus memiliki komitmen untuk menempatkan pekerjaannya sebagai profesi yang harus dilakukan secara profesional.
Sonny Keraf & Robert Imam (1991) menyebutkan tiga prinsip yang perlu mendapat perhatian manakala individu dalam organisasi ingin mengembangkan profesionalisme diri, yakni:
(1) Tanggung-jawab;
(2) Keadilan; dan
(3) Otonomi.

1. Tanggung-Jawab
Diri yang profesional sekurang-kurangnya bertanggungjawab pada dua hal: (a) baik pelaksanaan maupun hasil pekerjaan, dan (b) dampak pekerjaannya pada masyarakat luas. Maksud dari tanggungjawab yang pertama adalah bahwa kaum profesional harus bekerja sebaik-baiknya sehingga hasilnya tidak saja memenuhi standar yang diharapkan tetapi juga bisa lebih dari itu. Untuk dapat memenuhi tuntutan tanggungjawab ini kaum profesional perlu memiliki kompetensi yang prima (yang terwujud melalui keahlian dan ketrampilannya), kondisi yang prima (fisik, psikis, ekonomis-keluarga, suasana & lingkungan kerja), serta mampu bekerja secara efisien dan efektif.
Sedang maksud dari tanggungjawab kedua adalah bahwa diri yang profesional dituntut untuk selalu mempertimbangkan dampak pekerjaannya terhadap orang lain atau masyarakat luas. Dalam hal ini minimal dia harus mencegah dampak yang akan merugikan pihak lain, dan maksimal dia harus menghasilkan hal-hal yang berguna bagi orang banyak.

2. Keadilan
Maksud dari keadilan adalah memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa siapapun yang ingin tampil secara profesional dituntut untuk menghormati hak-hak pihak lain seperti dia menghormati hak-hak pribadi.

3. Otonomi
Otonomi tak dapat diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Orang yang memiliki otonomi akan terikat pada tanggungjawab atas penerapan otonominya itu. Justru orang yang otonominya dirampas yang akan melimpahkan tanggungjawab atas perbuatannya pada pihak lain.
Diri yang profesional adalah diri yang otonom. Otonomi ini sangat penting bagi pelaksanaan kerja, khususnya untuk membuat keputusan- keputusan atau pengembangan kinerja. Untuk melaksanakan otonomi ini kaum profesional mendasarkan diri pada kode etik yang berlaku. Kode etik adalah pegangan umum yang mengikat para profesional di bidang-bidang tertentu agar dapat mewujudkan otonominya dengan penuh tanggung jawab (sebagai contoh, lihat lampiran 2!). Dengan adanya kode etik ini kaum profesional diharapkan dapat mengamalkan otonomi yang dimilikinya bagi kepentingan masyarakat luas.
Ciri-ciri Manajemen Sumber Daya Manusia yang profesional berikut ini bukan hanya dipersyaratkan bagi manajer SDM saja, namun dapat juga dipakai bagi manajer atau manajemen lainnya.

1.      Mengetahui yang diharapkan darinya
Yang pertama-tama menunjukkan seorang manajer adalah manajer profesional atau bukan adalah apakah ia tahu yang diharapkan oleh perusahaan darinya. Bagaimana caranya untuk mengetahui? Tentunya dengna menanyakan kepada calon atasannya diperusahaan tersebut dan lepada seluruh jajaran pimpinan lainnya. Ini yang oleh rekan-rekan kita orang pemasaran disebut “berorientasi pada kebutuhan konsumen”! Seorang manajer sumber daya manusia atau manajer apapun yang merasa dirinya termasuk kategori profesional akan selalu melakukan hal yang sama sebelum menerima sebuah tawaran posisi. Ini adalah salah satu ciri khusus yang membedakan seorang manajer profesional dan yang bukan.

2.      Memiliki kemampuan yang “mumpuni”
Yang harus “diketahui” dan “bisa dilakukan” oleh seseorang yang disebut profesional tentunya harus mencapai tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada mereka yang termasuk kelompok amatir atau yang biasa-biasa saja. Seorang petinju profesional lebih tahu banyak tentang strategi bertinju dan berlaga untuk sepuluh ronde. Seorang petinju amatir hanya berlaga untuk tiga ronde! Dengan kata lain, seorang profesional harus mempunyai kemampuan yang “mumpuni” ada aspek lain yang tidak kalah pentingnya dengan kemampuan, yaitu sikap mental yang akan dijelaskan kemudian.

3.      Mengetahui “harga-nya” sendiri
Seorang manajer profesional sadar betul bahwa “ia” pengetahuannya, dan keahliannya mempunyai “harga” tertentu sesuai dengan harga pasarannya. Seorang manajer profesional akan mencapai suatu tingkatan dimana ia tidak lagi dalam posisi melamar pekerjaan tetapi ia yang akan dilamar. Manajer profesional yang mencapai tingkatan ini akan mengetahui “harga” yang melekat padanya. Ia tidak lagi akan pusing dengan job grade (golongan atau kelas) dari jabatan yang didudukinya tapi yang penting untuknya adalah apakah “rupiah-nya” kompetitif atau tidak. Di Indonesia sudah banyak yang mencapai tingkatan seperti itu.

Sistem nilai dan sikap seorang manajer sumber daya manusia profesional adalah sebagai berikut:

1.      Kebutuhan aktualisasi diri yang kuat serta menghargai prestasi tinggi dan keuunggulan
Seorang profesional dituntut untuk selalu ingin mencapai prestasi yang tinggi demi kepuasannya sendiri. Bagaimana ia dapat mendorong orang lain berprestasi bila ia sendiri kurang berprestasi.

2.      Integritas moral yang tinggi
Awal sebuah kehancuran bagi karir seorang profesional adalah apabila ia terbukti tidak dapat menjaga integritas moralnya. Imbalan yang diterima seorang manajer sumber daya manusia profesional dewasa ini sebenarnya sudah dapat membuatnya hidup cukup nyaman sebagai warga kelas menengah walaupun tidak akan membuatnya jadi kaya. Oleh karena itu, mereka yang cita-citanya menjadi kaya seharusnya memilih mejadi pengusaha atau enterpreneur. “Pelanggaran” yang paling sering terjadi adalah memasukkan anggota keluarga sendiri sebagai karyawan perusahaan atau “pembengkokkan” peraturan perusahaan untuk sekelompok atau seorang karyawan tertentu yang mempunyai hubungan dekat dengannya. Bila hal ini sudah ia lakukan, bagaimana mungkin ia dapat melarang orang untuk melakukannya.

3.      Senang belajar dan mencoba konsep baru
Seorang manajer sumber daya manusia profesional seharusnya selalu memutakhirkan ilmunya atau istilah populer para konsultan adalah me-recharge kembali baterainya. Mereka yang tidak suka belajar walaupun hanya membaca majalah, jurnal, atau buku akan segera “ketinggalan zaman” dan menjadi katak dalam tempurung.

4.      Bersedia menerima dan menjadi agen perubahan
Seorang manajer profesional harus mengetahui dan menyadari betul bahwa lingkungan stratejik berubah dengan sangat pesat. Para manajer harus selalu siap menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan turut aktif dalam melaksanakan perubahan yang dirancang mengikuti perubahan dalam visi, misi, dan strategi perusahaannya.

5.      Senang bekerja dalam tim
Seorang manajer atau direktur sumber daya manusia adalah anggota sebuah tim besar yang mengarahkan jalannya perusahaan. Sebagai seorang manajer, ia juga harus memimpin timnya sendiri yang menangani bidang sumber daya manusia. Pada saat yang bersamaan, ia juga harus mendorong penngembangan semangat kerja dalam tim didalam seluruh jajaran organisasi perusahaannya.

6.      Bersikap “merakyat”
Sikap ini sangat terkait dengan budaya organisasi tempatnya bekerja. Bila budaya perusahaannya “berbau feodalistik”, akan akan terlihat perbedaan-perbedaan dalam perlakuan terhadap karyawan pimpinan dan karyawan bawahan. Bila seorang manajer sumber daya manusia sudah dihinggapi sikap dan sistem feodal, akan sukar baginya untuk bersikap “merakyat” dan bergaul secara akrab dengan semua tingkatan tanpa membeda-bedakan status dan kedudukan dalam perusahaannya.
7.      Fleksibel dalam pergaulan lintas budaya
Bukan hanya bagi mereka yang bekerja dalam lingkungan perusahaan multinasional, tetapi dalam perusahaan nasionalpun keperluan untuk memiliki pengetahuan tentang perbedaan budaya dan kemampuan untuk berinteraksi lintas budaya sangatlah penting. Akan sukar bagi seorang manajer sumber daya manusia untuk bekerja dalam lingkungan budaya yang berbeda dengan budayanya sendiri bila ia tidak memiliki sensitivitas dan fleksibilitas yang diperlukan.

Dari pendekatan melalui “batasan” dan “sikap” profesional dapat dirumuskan bahwa seseorang dapat dirumuskan bahwa seseorang dapat disebut sebagai profesional apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
·         Memiliki “knowledge” yang diperlukan oleh profesi tersebut
·         Memiliki “skill” yang diperlukan
·         Memiliki “attitude” atau sikap
Untuk menuju profesionalisme, pertama-tama yang harus dilakukan adalah melalui “proses edukasi”. Dalam proses edukasi, ada beberapa unsur (sub-sistem edukasi)yang perlu mendapatkan perhatian yaitu :
1.      Pemahaman (melalui sosialisasi, implementasi dsb).
2.      Pendekatan sistem (secara bertingkat) dalam proses pemahaman di atas.
3.      Menterjemahkan nilai-nilai yang akan diterapkan sehingga mudah untuk dipahami oleh semua orang.
4.      Pengembangan “etika professionalisme”. Etika ini yang diharapkan akan menjadi pagar-pagar yang mengatur tingkah laku profesional para pelaku profesi.
5.      Enforcement melalui penerapan sanksi oleh “Assosiasi profesi” yang dibangun untuk itu. Assosiasi Profesi ini bahkan bisamenjadi suatu institusi yang akan menegakkan “standard performance” untuk dijadikan acuan standar bagi kualitas pelayanan / kinerja yang ditampilkan oleh para professional tersebut.
6.      Perlu didukung oleh policy dan sistem yang akan dikembangkan untuk mempersiapkan SDM yang dapat menghadapipersaingan global.
7.      Keteladanan, senantiasa menjadi kunci keberhasilan. Tanpa keteladanan yang jujur, hanya akan melahirkan sinisme.
Oleh karena itu, peran pimpinan dalam membentuk SDM yang professional sangat dibutuhkan sekali. Peran pimpinan sebagai penggerak organisasi, sebagai pusat dan pemberi energi bagi seluruh karyawan dalam upayanya membangun sebuah organisasiyang tangguh. Energi yang kuat datang dari seorang pemimpin yang dapat memberi keyakinan, membangkitkan motivasi, yang padadasarnya memberi napas bagi seluruh organisasi. Sebagai pusat penggerak seluruh organisasi.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Untuk mewujudkan ataupun mengembangkan profesionalisme setiap organisasi dapat melakukan pendekatan struktural maupun kultural. Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Namun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang perlu menggalakkan pengembangan profesionalisme sebenarnya tidaklah organisasi secara sepihak, tetapi juga para individu yang bekerja dalam organisasi tersebut. Untuk mengembangkan profesionalisme diri setidaknya ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan, yakni tanggungjawab, keadilan dan otonomi.


MAKALAH
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
BAGAIMANA MENJADI PELAKU PROFESIONAL



 









DISUSUN OLEH
FEBLE FUJI PERTIWI                        E1F111005
ILHAM ANANTO                     E1F111007
FITRIANTI PURWANTI         E1F111022
PURNOMO                                 E1F111032
ARGA GAUTAMA                   E1F111003
SEPTRIYANDI HPP                 E1F109056
INDIRA PARAMITHA             E1F110018
M. FIRZHA ABDAU E             E1F110047
M. MUSTAKIM                         E1F109075
SRI BUDI ASTUTI                    E1D108030

                                                                                  
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2012