BAB
I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Sebelum jauh membahas mengenai menjadi seorang
profesional baiknya mengenal terlebih dahulu apa itu profesional. Kata
profesional adalah kata sifat berasal dari kata “profesi”. Profesional berarti
totalitas pada suatu pekerjaan agar mendapatkan output yang terbaik. Ada tiga
hal terkait di sini, yaitu kepuasan dari pengguna jasa atau barang yang
dihasilkan, keahlian orang yang mengerjakan, dan imbalan dari pekerjaan
tersebut.
Profesional diartikan sebagai ciri-ciri kekuatan
yang dimiliki oleh seseorang berupa kemampuan terhadap suatu bidang keahlian
(kompetensi), kesiapan melakukan kompetisi, kemampuan melakukan efisiensi waktu
dan kerja, keterampilan, pandai membaca situasi dan keadaan, berpengalaman,
memiliki sifat dan hasil kerja yang mengagumkan.
Ukuran profesionalitas seseorang bisa dilihat dari
dua sisi yaitu teknis keterampilan atau
keahlian yang dimilikinya, serta hal-hal yang berhubungan dengan sifat, watak,
dan kepribadiannya. Untuk menjadi seorang yang professional tidak cukup hanya
dengan pendidikan formal, diperlukan lebih dari sekedar gelar akademik.
Pengembangan diri lah yang paling berpengaruh untuk membangun sifat
professional dalam diri sendiri.
Di era globalisasi sekarang ini profesionalisme
merupakan salah satu syarat penting bagi segala jenis pekerjaan. Setiap orang,
apapun pekerjaannya, haruslah mampu memposisikan diri sebagai
profesional-profesional tangguh yang siap menghadapi segala situasi yang
mungkin terjadi sebagai akibat persaingan global yang sangat tajam dan terbuka.
Ada cukup banyak definisi yang pernah dikemukakan
para pakar tentang profesionalisme. Definisi-definisi itu tentu dirumuskan
dengan penekanan-penekanan tertentu sesuai dengan tujuan dan sudut pandang
pakar yang mengajukannya. Karenanya, tidak jarang orang awam justru dibuat
bingung dengan banyaknya definisi tersebut (Cf. Richard de George, 1986: 337).
Jack Halloran (1978) membedakan pekerjaan
(occupation) dan profesi (profession) berdasarkan status sosial jenis-jenis
pekerjaan. Menurutnya, usaha-usaha untuk memprofesionalkan pekerjaan adalah
usaha untuk mendapat pengakuan sosial yang lebih tinggi dari pekerjaan
tersebut. Kadang-kadang sifat dari suatu pekerjaan menuntut pengakuan sosial yang
lebih tinggi, kadang-kadang tidak.
Berdasarkan sejarah pemakaiannya, istilah profesi
biasa digunakan untuk mengacu pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan
atau keahlian khusus, yang dilakukan sebagai pekerjaan utama, dalam artian
bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut bukan sekadar hobi atau pekerjaan sampingan.
Profesi dengan demikian bukanlah pekerjaan itu ansich, tetapi juga berkaitan
dengan orang yang menjalaninya.
Apabila dilacak dari akar sejarahnya, walaupun
istilah profesi baru muncul dan semakin intens penggunaannya pada era modern,
sejak zaman Yunani klasik orang sudah mempraktikkan substansinya. Pada waktu
itu orang telah mengadakan pembedaan antara pekerjaan yang sifatnya honorable
dan pekerjaan yang useful. Pekerjaan yang honorable banyak dilakukan oleh
kalangan aristokrat yang umumnya lebih banyak waktu luangnya dibandingkan
masyarakat biasa. Pekerjaan jenis ini tidaklah menuntut imbalan materi, sebab
yang diperlukan dari kalangan ini adalah rasa hormat yang diperoleh dari
kemampuan olah pikirnya. Dari kalangan inilah yang kemudian muncul pekerjaan
seperti filsafat, arithmatika, astronomi, dan lain-lain.
Dewasa ini pekerjaan-pekerjaan yang dapat disebut
sebagai profesi tidak lagi terbatas yang teknis dan praktis, tetapi juga
pekerjaan- pekerjaan lain yang abstrak-teoretis. Karenanya tidaklah
mengherankan apabila orang menyebut pekerjaan-pekerjaan seperti guru,
pengacara, wartawan, dsb., sebagai profesi.
II. MAKSUD DAN TUJUAN
Tujuan
dari disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
profesionalisme dan cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Makalah ini
juga merupakan penilaian bentuk tugas dari mata kuliah Manajemen Sumber Daya
Manusia.
BAB
II
ISI
I.
ISI
DAN PEMBAHASAN
Tuntutan
profesionalisme di lingkungan kerja sebenarnya sangat masuk akal dan dapat
dipahami siapapun yang memiliki motivasi berprestasi secara maksimal.
Setidaknya ada dua alasan terkait yang bisa dikemukakan di sini. Pertama,
haruslah diakui bahwa tantangan yang paling besar untuk berprestasi dewasa ini
adalah arah arus yang lebih kuat dari negara-negara maju ke negara-negara
berkembang daripada sebaliknya. Masuknya perusahaan-perusahaan multinasional
seperti KFC, IBM, Sony, dan lain-lain, merupakan bukti nyata dari kondisi
tersebut. Belum lagi serbuan gelombang informasi dan telekomunikasi dari
negara-negara maju yang dari waktu ke waktu semakin gencar mempengaruhi sikap
dan pandangan hidup masyarakat dunia ketiga. Konsekuensi dari kondisi ini
adalah munculnya pelbagai tata nilai, standar, atau bahkan tuntutan (seperti
pemberlakuan ISO 9000, ISO 14000) yang secara tak terelakkan harus dipenuhi,
terutama oleh masyarakat dunia ketiga.
Mewujudkan & Mengembangkan
Profesionalisme
Usaha
untuk mewujudkan etos profesionalisme dapat dilakukan baik melalui pendekatan
struktural maupun kultural. Meskipun masalah struktur dan kultur tidak perlu
dipertentangkan secara tajam, untuk mempermudah pembahasan sangat diperlukan
perbedaan di antara keduanya. Dalam pendekatan struktural, biasanya yang perlu
mendapat pembenahan adalah mekanisme kerja di dalam organisasi yang menghambat
pelaksanaan kerja secara profesional. Sedangkan dalam pendekatan kultural, yang
perlu mendapat perhatian adalah pengembangan kualitas SDM. Pendekatan kultural
ini memakan waktu lebih lama dan biayanya lebih besar. Namun dampak negatif
dari perubahan yang terjadi tidaklah sebesar pendekatan struktural.
Pendekatan Struktural
Menurut
Benveniste, menumbuhkan profesionalisme dalam organisasi sama artinya dengan
mereduksi birokrasi. Dengan birokrasi dimaksudkan struktur dan fungsi
organisasi di mana aturan-aturan, regulasi-regulasi dan rutinitas digunakan
secara ekstensif. Birokrasi biasanya lebih menekankan mekanisme kerja yang
didasarkan pada sistem hirarkhis dan aturan yang kaku. Para birokrat yang
menduduki jabatan tertentu dalam organisasi dituntut untuk patuh pada top
manajemen yang memiliki otoritas lebih tinggi.
Di
era globalisasi ini organisasi yang masih mempertahankan pendekatan birokrasi
akan menghadapi tantangan besar, karena banyak aspek dari globalisasi justru
bertolak belakang dengan sifat birokrasi. Selain itu pelbagai perubahan yang
berlangsung dengan cepat sangat membutuhkan respon dan penanganan yang cepat
pula. Kondisi semacam ini akan sulit sekali ditempuh dengan pendekatan birokrasi
yang lebih banyak membebankan kebijakan dan keputusan pada top pucuk pimpinan
setelah melalui proses panjang pertimbangan sub-sub unit atau departemen dalam
organisasi.
Secara
struktural, upaya yang bisa dilakukan untuk lebih memprofesionalkan kinerja
organisasi dapat ditempuh melalui dua cara. Yang pertama adalah dengan
profesionalisasi organisasi, dan yang kedua adalah dengan restrukturisasi
organisasi. Cara pertama adalah dengan menghadirkan para profesional untuk
menempati pos-pos strategis dalam struktur yang ada. Cara ini tentu bukannya
tanpa masalah, sebab selain para profesional ini harus menyesuaikan diri dengan
budaya organisasi (corporate culture) yang sudah terbentuk dalam organisasi,
para birokrat senior yang telah lama bekerja di organisasi yang bersangkutan
belum tentu cocok dengan gagasan-gagasan ataupun kinerja para profesional
tersebut (Cf. Rosabeth Kanter et al, 1992:42).
Cara
kedua adalah dengan pembenahan struktur yang ada, dalam artian bahwa organisasi
perlu melakukan perampingan struktur dengan menghilangkan atau menggabungkan
unit-unit yang dinilai kurang produktif ataupun memperlambat mekanisme kerja.
Usaha demikian meskipun sangat praktis, tetapi akan menimbulkan gejolak dan
keresahan di kalangan pejabat atau karyawan yang merasa kehilangan unitnya.
Namun sejauh penyelenggaraan restrukturisasi dilakukan secara fair dan
transparan, gejolak internal yang mungkin terjadi masih bisa diantisipasi.
Pendekatan Kultural
Dalam
mengupayakan suatu perubahan, pendekatan kultural biasanya lebih dimengerti
sebagai terminologi untuk merekomendasi pengembangan sumberdaya manusia (SDM)
yang telah ada. Orang juga biasa menyebutnya sebagai pendekatan mental,
psikologis ataupun pendidikan. Pada pendekatan ini yang ditekankan adalah
peningkatan kualitas SDM melalui penyelenggaraan, studi banding, seminar,
kursus atau pelatihan-pelatihan, atau bahkan studi lanjut. Dalam wacana
manajemen modern kegiatan ini biasa disebut juga sebagai Organizational
Development (OD), yang umumnya diselenggarakan dengan mengundang konsultan dari
luar. Melalui bekal tambahan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari
kegiatan tersebut, para karyawan akan tertantang untuk semakin meningkatkan
kinerjanya.
Sebagaimana
dikemukakan Alexander Winn (1968) bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan
sebagaimana disebut di atas pada dasarnya merupakan strategi reedukasi dan
normatif yang ditujukan untuk mempengaruhi sistem kepercayaan, nilai, dan sikap
dalam organisasi sehingga organisasi dapat beradaptasi lebih baik terhadap
akselerasi laju perubahan teknologi, baik di lingkungan internal maupun
eksternal.
Di
negara maju seperti USA, meskipun profesionalisme sudah berakar cukup kuat dan
bahkan sudah menjadi pola kerja warga masyarakat, upaya meningkatkannya masih
terus berlanjut. Satu contoh menarik adalah yang dilakukan The American Society
for Personnel Administration (ASPA) yang memberikan akreditasi sebagai upaya
pemberian pengakuan sekaligus pengembangan profesi Human Resources Management
(HRM). Dalam pemberian sertifikat akreditasi itu ASPA menetapkan
standar-standar dan kualifikasi serta pengadaan ujian-ujian yang akan
memberikan jaminan kompetensi bagi mereka yang memperolehnya.
ASPA
membagi sertifikasi profesionalisme ke dalam dua level. Level pertama adalah
Senior Profesional in Human Resources (SPHR). Level ini mensyaratkan pengalaman
yang meliputi tanggungjawab-tanggungjawab kebijakan dan pengembangan. Untuk
mendapat sertifikat ini para profesional harus menempuh ujian-ujian yang
meliputi area:
·
Employment, placement, & personnel
planning.
·
Training & Development.
·
Compensation & benefits.
·
Health, safety, & security.
·
Employee & labor relations.
·
Personnel Research.
Sedangkan
untuk level kedua, yakni Profesional in Human Resources (PHR) prasyarat yang
perlu dipenuhi adalah dengan menempuh ujian-ujian yang menyangkut pemahaman
dasar dari human resources management.
Apa
yang telah diupayakan ASPA selama lebih dari dua dekade itu merupakan langkah
maju yang sangat membantu suatu organisasi dalam mengukur sekaligus
mengembangkan profesionalisme karyawannya. Namun harus dicatat pula bahwa
pencapaian sertifikat semacam itu bukan satu-satunya tujuan yang ingin dicapai
para profesional di negara tersebut. Penerimaan sertifikat profesionalisme
hanyalah salah satu tahapan dalam kerier yang menyangkut pengakuan dan upaya
pengembangan diri. Bagi mereka yang lebih dipentingkan lagi adalah bagaimana
mempertanggungjawabkan pengakuan tersebut dalam menjalankan tugas-tugas yang
dihadapi.
Mengembangkan Profesionalisme Diri
Meskipun
setiap organisasi berkepentingan untuk mengembangkan profesionalisme di
lingkungannya, terutama untuk lebih mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat
luas, menjalankan pekerjaan secara profesional sebenarnya merupakan
tanggungjawab setiap individu di dalam organisasi tersebut. Begitu seorang
diterima sebagai pegawai secara otomatis dia harus memiliki komitmen untuk
menempatkan pekerjaannya sebagai profesi yang harus dilakukan secara
profesional.
Sonny
Keraf & Robert Imam (1991) menyebutkan tiga prinsip yang perlu mendapat perhatian
manakala individu dalam organisasi ingin mengembangkan profesionalisme diri,
yakni:
(1)
Tanggung-jawab;
(2)
Keadilan; dan
(3)
Otonomi.
1. Tanggung-Jawab
Diri
yang profesional sekurang-kurangnya bertanggungjawab pada dua hal: (a) baik
pelaksanaan maupun hasil pekerjaan, dan (b) dampak pekerjaannya pada masyarakat
luas. Maksud dari tanggungjawab yang pertama adalah bahwa kaum profesional
harus bekerja sebaik-baiknya sehingga hasilnya tidak saja memenuhi standar yang
diharapkan tetapi juga bisa lebih dari itu. Untuk dapat memenuhi tuntutan
tanggungjawab ini kaum profesional perlu memiliki kompetensi yang prima (yang
terwujud melalui keahlian dan ketrampilannya), kondisi yang prima (fisik,
psikis, ekonomis-keluarga, suasana & lingkungan kerja), serta mampu bekerja
secara efisien dan efektif.
Sedang
maksud dari tanggungjawab kedua adalah bahwa diri yang profesional dituntut
untuk selalu mempertimbangkan dampak pekerjaannya terhadap orang lain atau
masyarakat luas. Dalam hal ini minimal dia harus mencegah dampak yang akan
merugikan pihak lain, dan maksimal dia harus menghasilkan hal-hal yang berguna
bagi orang banyak.
2. Keadilan
Maksud
dari keadilan adalah memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
Prinsip ini mengisyaratkan bahwa siapapun yang ingin tampil secara profesional
dituntut untuk menghormati hak-hak pihak lain seperti dia menghormati hak-hak
pribadi.
3. Otonomi
Otonomi
tak dapat diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Orang yang memiliki otonomi
akan terikat pada tanggungjawab atas penerapan otonominya itu. Justru orang
yang otonominya dirampas yang akan melimpahkan tanggungjawab atas perbuatannya
pada pihak lain.
Diri
yang profesional adalah diri yang otonom. Otonomi ini sangat penting bagi
pelaksanaan kerja, khususnya untuk membuat keputusan- keputusan atau
pengembangan kinerja. Untuk melaksanakan otonomi ini kaum profesional
mendasarkan diri pada kode etik yang berlaku. Kode etik adalah pegangan umum
yang mengikat para profesional di bidang-bidang tertentu agar dapat mewujudkan
otonominya dengan penuh tanggung jawab (sebagai contoh, lihat lampiran 2!).
Dengan adanya kode etik ini kaum profesional diharapkan dapat mengamalkan
otonomi yang dimilikinya bagi kepentingan masyarakat luas.
Ciri-ciri
Manajemen Sumber Daya Manusia yang profesional berikut ini bukan hanya
dipersyaratkan bagi manajer SDM saja, namun dapat juga dipakai bagi manajer
atau manajemen lainnya.
1. Mengetahui yang diharapkan darinya
Yang
pertama-tama menunjukkan seorang manajer adalah manajer profesional atau bukan
adalah apakah ia tahu yang diharapkan oleh perusahaan darinya. Bagaimana
caranya untuk mengetahui? Tentunya dengna menanyakan kepada calon atasannya
diperusahaan tersebut dan lepada seluruh jajaran pimpinan lainnya. Ini yang
oleh rekan-rekan kita orang pemasaran disebut “berorientasi pada kebutuhan
konsumen”! Seorang manajer sumber daya manusia atau manajer apapun yang merasa
dirinya termasuk kategori profesional akan selalu melakukan hal yang sama
sebelum menerima sebuah tawaran posisi. Ini adalah salah satu ciri khusus yang
membedakan seorang manajer profesional dan yang bukan.
2. Memiliki kemampuan yang “mumpuni”
Yang
harus “diketahui” dan “bisa dilakukan” oleh seseorang yang disebut profesional
tentunya harus mencapai tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada mereka yang
termasuk kelompok amatir atau yang biasa-biasa saja. Seorang petinju
profesional lebih tahu banyak tentang strategi bertinju dan berlaga untuk
sepuluh ronde. Seorang petinju amatir hanya berlaga untuk tiga ronde! Dengan
kata lain, seorang profesional harus mempunyai kemampuan yang “mumpuni” ada
aspek lain yang tidak kalah pentingnya dengan kemampuan, yaitu sikap mental
yang akan dijelaskan kemudian.
3. Mengetahui “harga-nya” sendiri
Seorang
manajer profesional sadar betul bahwa “ia” pengetahuannya, dan keahliannya
mempunyai “harga” tertentu sesuai dengan harga pasarannya. Seorang manajer
profesional akan mencapai suatu tingkatan dimana ia tidak lagi dalam posisi
melamar pekerjaan tetapi ia yang akan dilamar. Manajer profesional yang
mencapai tingkatan ini akan mengetahui “harga” yang melekat padanya. Ia tidak
lagi akan pusing dengan job grade (golongan atau kelas) dari jabatan yang
didudukinya tapi yang penting untuknya adalah apakah “rupiah-nya” kompetitif
atau tidak. Di Indonesia sudah banyak yang mencapai tingkatan seperti itu.
Sistem
nilai dan sikap seorang manajer sumber daya manusia profesional adalah sebagai
berikut:
1.
Kebutuhan
aktualisasi diri yang kuat serta menghargai prestasi tinggi dan keuunggulan
Seorang
profesional dituntut untuk selalu ingin mencapai prestasi yang tinggi demi
kepuasannya sendiri. Bagaimana ia dapat mendorong orang lain berprestasi bila
ia sendiri kurang berprestasi.
2.
Integritas
moral yang tinggi
Awal sebuah
kehancuran bagi karir seorang profesional adalah apabila ia terbukti tidak
dapat menjaga integritas moralnya. Imbalan yang diterima seorang manajer sumber
daya manusia profesional dewasa ini sebenarnya sudah dapat membuatnya hidup
cukup nyaman sebagai warga kelas menengah walaupun tidak akan membuatnya jadi
kaya. Oleh karena itu, mereka yang cita-citanya menjadi kaya seharusnya memilih
mejadi pengusaha atau enterpreneur. “Pelanggaran” yang paling sering terjadi
adalah memasukkan anggota keluarga sendiri sebagai karyawan perusahaan atau
“pembengkokkan” peraturan perusahaan untuk sekelompok atau seorang karyawan
tertentu yang mempunyai hubungan dekat dengannya. Bila hal ini sudah ia
lakukan, bagaimana mungkin ia dapat melarang orang untuk melakukannya.
3.
Senang
belajar dan mencoba konsep baru
Seorang manajer
sumber daya manusia profesional seharusnya selalu memutakhirkan ilmunya atau
istilah populer para konsultan adalah me-recharge kembali baterainya. Mereka
yang tidak suka belajar walaupun hanya membaca majalah, jurnal, atau buku akan
segera “ketinggalan zaman” dan menjadi katak dalam tempurung.
4.
Bersedia
menerima dan menjadi agen perubahan
Seorang manajer
profesional harus mengetahui dan menyadari betul bahwa lingkungan stratejik
berubah dengan sangat pesat. Para manajer harus selalu siap menyesuaikan diri
dengan perubahan tersebut dan turut aktif dalam melaksanakan perubahan yang
dirancang mengikuti perubahan dalam visi, misi, dan strategi perusahaannya.
5.
Senang
bekerja dalam tim
Seorang manajer
atau direktur sumber daya manusia adalah anggota sebuah tim besar yang
mengarahkan jalannya perusahaan. Sebagai seorang manajer, ia juga harus
memimpin timnya sendiri yang menangani bidang sumber daya manusia. Pada saat
yang bersamaan, ia juga harus mendorong penngembangan semangat kerja dalam tim
didalam seluruh jajaran organisasi perusahaannya.
6.
Bersikap
“merakyat”
Sikap ini sangat
terkait dengan budaya organisasi tempatnya bekerja. Bila budaya perusahaannya
“berbau feodalistik”, akan akan terlihat perbedaan-perbedaan dalam perlakuan
terhadap karyawan pimpinan dan karyawan bawahan. Bila seorang manajer sumber
daya manusia sudah dihinggapi sikap dan sistem feodal, akan sukar baginya untuk
bersikap “merakyat” dan bergaul secara akrab dengan semua tingkatan tanpa
membeda-bedakan status dan kedudukan dalam perusahaannya.
7.
Fleksibel
dalam pergaulan lintas budaya
Bukan hanya bagi
mereka yang bekerja dalam lingkungan perusahaan multinasional, tetapi dalam
perusahaan nasionalpun keperluan untuk memiliki pengetahuan tentang perbedaan
budaya dan kemampuan untuk berinteraksi lintas budaya sangatlah penting. Akan
sukar bagi seorang manajer sumber daya manusia untuk bekerja dalam lingkungan
budaya yang berbeda dengan budayanya sendiri bila ia tidak memiliki
sensitivitas dan fleksibilitas yang diperlukan.
Dari
pendekatan melalui “batasan” dan “sikap” profesional dapat dirumuskan bahwa
seseorang dapat dirumuskan bahwa seseorang dapat disebut sebagai profesional
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
·
Memiliki “knowledge” yang diperlukan
oleh profesi tersebut
·
Memiliki “skill” yang diperlukan
·
Memiliki “attitude” atau sikap
Untuk
menuju profesionalisme, pertama-tama yang harus dilakukan adalah melalui
“proses edukasi”. Dalam proses edukasi, ada beberapa unsur (sub-sistem
edukasi)yang perlu mendapatkan perhatian yaitu :
1. Pemahaman
(melalui sosialisasi, implementasi dsb).
2. Pendekatan
sistem (secara bertingkat) dalam proses pemahaman di atas.
3. Menterjemahkan
nilai-nilai yang akan diterapkan sehingga mudah untuk dipahami oleh semua orang.
4. Pengembangan
“etika professionalisme”. Etika ini yang diharapkan akan menjadi pagar-pagar
yang mengatur tingkah laku profesional para pelaku profesi.
5. Enforcement
melalui penerapan sanksi oleh “Assosiasi profesi” yang dibangun untuk itu.
Assosiasi Profesi ini bahkan bisamenjadi suatu institusi yang akan menegakkan “standard performance” untuk dijadikan
acuan standar bagi kualitas pelayanan / kinerja yang ditampilkan oleh para
professional tersebut.
6. Perlu
didukung oleh policy dan sistem yang akan dikembangkan untuk mempersiapkan SDM
yang dapat menghadapipersaingan global.
7. Keteladanan,
senantiasa menjadi kunci keberhasilan. Tanpa keteladanan yang jujur, hanya akan
melahirkan sinisme.
Oleh karena itu, peran pimpinan dalam membentuk SDM
yang professional sangat dibutuhkan sekali. Peran pimpinan sebagai penggerak
organisasi, sebagai pusat dan pemberi energi bagi seluruh karyawan dalam
upayanya membangun sebuah organisasiyang tangguh. Energi yang kuat datang dari
seorang pemimpin yang dapat memberi keyakinan, membangkitkan motivasi, yang
padadasarnya memberi napas bagi seluruh organisasi. Sebagai pusat penggerak
seluruh organisasi.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Untuk mewujudkan ataupun mengembangkan
profesionalisme setiap organisasi dapat melakukan pendekatan struktural maupun
kultural. Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kelemahannya
masing-masing. Namun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang
perlu menggalakkan pengembangan profesionalisme sebenarnya tidaklah organisasi
secara sepihak, tetapi juga para individu yang bekerja dalam organisasi
tersebut. Untuk mengembangkan profesionalisme diri setidaknya ada tiga prinsip
yang perlu diperhatikan, yakni tanggungjawab, keadilan dan otonomi.
MAKALAH
MANAJEMEN
SUMBER DAYA MANUSIA
BAGAIMANA MENJADI PELAKU PROFESIONAL
DISUSUN OLEH
FEBLE FUJI PERTIWI E1F111005
ILHAM ANANTO E1F111007
FITRIANTI PURWANTI E1F111022
PURNOMO E1F111032
ARGA GAUTAMA E1F111003
SEPTRIYANDI HPP E1F109056
INDIRA PARAMITHA E1F110018
M. FIRZHA ABDAU E E1F110047
M. MUSTAKIM E1F109075
SRI BUDI ASTUTI E1D108030
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2012